Inibaru.id - Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) Universitas Diponegoro menyelenggarakan peringatan Hari Puisi Nasional, Minggu (28/4). Berlangsung di Ruang Teater FIB Undip, acara yang sebagian besar dihadiri oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya(FIB) sendiri itu tampak penuh meskipun sebelumnya hujan sempat mengguyur.
Acara yang bertajuk “Enigmawar” ini mengangkat isu seputar kepenyairan perempuan yang nggak semasif laki-laki. Semua penampilan pada acara ini menyinggung soal bagaimana perempuan dibatasi ruang geraknya bahkan yang baru-baru ini marak beredar kabar tindakan pelecehan seksual di kampus-kampus.
Penampilan Dani Wahyana, salah satu mahasiswa Sastra Indoneisa saat membaca puisi turut mewarnai jalannya acara. (Inibaru.id/ Audrian F)
Selian pertunjukan teatrikal puisi dan musikalisasi, poin utama pada acara kali ini terletak pada diskusi yang mengangkat tema “Perempuan, Puisi dan Stigma yang Melingkupinya.”
“Isu ini kami angkat berawal dari keresahan kami yang mengamati betapa tersisihnya gerak atau suara perempuan dalam berkarya, pada kali ini khususnya kepenyairan,” tutur Umar Hasan, sebagai ketua acara peringatan hari puisi, Minggu(28/4).
Umar menambahkan isu tersebut juga masih relevan dengan peringatan hari Kartini beberapa hari lalu yang menyinggung mengenai bagaimana suara perempuan pada masa kini.
Menyoal Kepenyairan Perempuan
Sulis Bambang dan Himas Nur, selaku pembicara pada diskusi ini mengungkapkan banyak hal seputar tema tersebut.
Himas Nur berpendapat sebetulnya kiprah perempuan dalam dunia satra nggak redup-redup amat. Namun di dunia kepenyairan memang sedikit, sebab lebih banyak di prosa. Namun dia mengatakan kalau sebetulnya yang menjadi permasalahan adalah keberadaan perempuan yang selalu dilebih-lebihkan. Hal itu sebetulnya secara nggak langsung malah akan terus menganggap perempuan rendah.
“Pasalnya kita masih membuat dikotomi antara pria dan dan perempuan. Perempuan selalu dikhususkan. Misalnya ada perempuan berkumpul dikatakan “Forum Penulis Perempuan” atau ada sebutan “satu-satunya sutradara perempuan”. Memang kenapa kalau perempuan?” Ujar Himas Nur.
Bagi Himas sudah saatnya orang menilai karya atau teks-nya saja tanpa harus menyorot siapa penulisnya yang perempuan itu. "Kita manusia ya. Berhenti memandang ini perempuan dan ini pria,” tukas wanita alumnus Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang juga menjadi bagian dari Women March tersebut.
Sulis Bambang dan Himas Nur ketika menjadi pembicara saat diskusi yang bertemakan "Perempuan, Puisi dan Stigma yang Melingkupinya". (Inibaru.id/ Audrian F)
Sementara Sulis Bambang, penyair perempuan di Semarang yang juga punya komunitas bernama Bengkel Sastra tersebut menyampaikan keresahan terhadap keberadaan perempuan dalam karya sastra. “Memang kita hidup di dunia laki-laki. Patriarkis masih mengelilingi kita. Itulah sebabnya keadaan seperti ini dimana perempuan tersisih masih saja terjadi," katanya.
Kedua pembicara tersebut masing-masing memberikan solusi terhadap permasalahan yang cukup klasik di negara Indonesia ini. Himas Nur beropini kalau ini semua adalah tugas mahasiswa untuk menyediakan privilege kepada perempuan agar nggak selalu terpinggirkan. Kalau Sulis Bambang lebih menyarankan, jika perempuan nggak memiliki ruang untuk berkarya, ya kenapa nggak bikin ruang sendiri?
Hmm, jadi begitu ya, Millens. Kamu sendiri bagaimana memosisikan perempuan? (Audrian F/E05)