Inibaru.id – Menjadi salah satu kesenian “adopsi” membuat wayang potehi harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Diperkirakan sudah ada sejak Dinasti Jin di Tiongkok dan telah berusia sekitar 3.000 tahun, potehi terus mengalami perubahan, termasuk ketika masuk Indonesia dan menjadi tontonan khas di pecinan saat ini.
Wayang potehi merupakan pertunjukan opera dari Tiongkok yang menggunakan boneka berbahan kain. Ini merujuk pada akar kata potehi yang berasal dari bahasa Mandarin, yakni pou (kain), te (kantong), dan hi (boneka). Diperkirakan, kesenian tua ini berkembang di Indonesia melalui pedagang Tiongkok yang datang ke Indonesia sekitar abad ke-16.
Namun, sumber dari mulut ke mulut mengatakan, wayang yang dimainkan di dalam kotak yang diberi penerangan ini justru dipopulerkan oleh lima pesakitan yang mendapat hukuman mati semasa penjajahan Jepang. Berkat permainan wayang potehi yang apik, mereka dibebaskan dan diberi tugas baru untuk menghibur banyak orang.
Baca juga:
Mengulik Wayang Potehi dari Sejarah hingga Ceritanya
Akulturasi Fesyen Tionghoa-Indonesia dalam Kebaya dan Batik
Umumnya, wayang potehi mengisahkan cerita-cerita legenda dan kisah klasik Tiongkok. Pada awal perkembangannya di Indonesia, wayang potehi diceritakan dengan bahasa Mandarin logat Hokkian. Namun, kini para dalang mulai menggunakan bahasa yang dicampur dengan bahasa Indonesia.
Dalang wayang potehi asal Semarang, Herdian Chandra Irawan (48), mengatakan, pencampuran bahasa ini bertujuan agar orang Indonesia pun tahu apa yang diceritakan dalang. Kendati begitu, lanjutnya, mendiang ayahnya yang merupakan salah seorang dalang potehi legendaris Kota Lunpia, Thio Tiong Gie, masih menggunakan bahasa Hokkian.
“Kalau papa dulu masih bisa fasih pakai bahasa Hokkian. Kalau saya cuma di awal dan akhir aja yang pakai Hokkian. Selebihnya ya bahasa Indonesia,” ungkap pria bersahaja tersebut.
Herdian mengungkapkan, cerita wayang potehi yang dimainkannya selama ini biasanya diambil dari legenda Tiongkok. Menurutnya, pernah ada satu masa ketika Semarang menjadi salah satu kota yang terkenal dengan kesenian wayang tersebut. Namun, kini pamor itu mulai meredup karena ketiadaan regenerasi.
Dalam penilaiannya, dalang dan kru wayang potehi zaman dahulu terbilang galak. Anak kecil waktu itu nggak boleh menyaksikan wayang dari dalam panggung. Itu membuat anak-anak zaman dahulu susah belajar potehi, pun demikian halnya dengan Herdian.
Herdian mengaku nggak pernah belajar langsung wayang potehi dari ayahnya yang merupakan dalang potehi kondang di Semarang. Pemimpin Tek Gie Hien ini mengatakan, dia belajar secara autodidak lewat pelbagai referensi, mulai dari kerabat hingga berselancar ke internet.
Situasi ini, imbuhnya, jauh berbeda dengan di Gudo, Jombang. Regenerasi wayang potehi di sana, kata dia, cukup subur. Terbukti, banyak komunitas wayang potehi yang berdiri di Gudo. Pegiat potehi pun sudah nggak lagi didominasi warga keturunan Tionghoa. Banyak pula yang merupakan penduduk "pribumi".
Baca juga:
Go International, "Pengabdi Setan" Bakal Tayang di 42 Negara
"Black Panther", Menjelajahi Wakanda bersama Sang Superhero
“Ya, di Gudo banyak dalang potehi yang beragama Islam lo,” ujar laki-laki yang juga dikenal sebagai pegiat barongsai tersebut.
Yeah, begitu banyak perubahan dan perkembangan wayang potehi di negeri ini. Millens, satu hal yang kudu kamu ingat, kendati berasal dari Tiongkok, wayang potehi, sebagaimana wayang kulit yang banyak mengadopsi cerita Ramayana dan Mahabarata dari India, juga termasuk kesenian Indonesia lo. Yuk, bareng-bareng kita lestarikan! (IF/GIL)